Oleh : Belly Sam
Staf Pengajar FKG Universitas Padjadjaran
Dentamedia No. 2 Vol. 16 : April-Juni 2012
Banyak
orang Indonesia berduit lebih memilih pergi untuk berobat di negeri jiran
daripada di negeri sendiri, mungkin salah satu penyebabnya adalah karena
promosi layanan pengobatan di negeri kita nyaris tak ada, sementara di negeri
lain mereka jor-joran berpromosi. Sebenarnya di Indonesia semua jenis perawatan
bisa dikerjakan, hanya karena ketidaktahuan masyarakatlah yang membuat mereka
tidak tahu jenis dan kualitas layanan
kesehatan di negeri sendiri”
Kalimat diatas terbetik dari
seorang teman (bukan dokter gigi) yang
kebetulan tinggal dan bekerja di Malaysia dalam sebuah diskusi melalui jejaring sosial. Diskusi ini muncul sesaat
setelah saya melakukan up-load foto iklan sebuah dental clinic di
cover halaman depan Yellow Pages edisi Bali tahun 2011.
Pada awalnya terpikir sebuah
fakta kontradiktif setelah melihat iklan tersebut, mengapa promosi mahal dan
terbuka seperti ini bisa muncul di negeri kita. Padahal di dalam Kode Etik
Kedokteran Gigi Indonesia (Kodekgi) secara jelas dinyatakan bahwa dokter
gigi di Indonesia dilarang melakukan
upaya promosi seperti itu. Apakah PDGI dan MKEKG setempat tidak mengetahuinya ?
Sebenarnya promosi secara
terbuka pelayanan kesehatan bukanlah sesuatu yang baru, berbagai rumah sakit
dan layanan klinik kecantikan sudah lama secara gencar dan bebas berupaya
mempromosikan dirinya melalui berbagai media di Indonesia. Tetapi hal ini masih
sedikit kita temui di bidang jasa pelayanan dokter dan dokter gigi, itu mungkin
karena kode etik kedokteran dan kedokteran gigi secara jelas mengharamkan hal
tersebut dilakukan. Dalam Kodekgi pasal 3 ayat 1 dinyatakan bahwa: “Dokter
gigi di Indonesia dilarang melakukan promosi dalam bentuk apapun, seperti
memuji diri, mengiklankan alat dan bahan apapun, member iming-iming baik secara
langsung maupun tidak langsung dan hal lain-lain, dengan tujuan agar pasien
datang berobat kepadanya”. Sedangkan dalam Kodeki (Kode Etik Kedokteran
Indonesia) dijelaskan bahwa: “Pada dasarnya dokter sama sekali tidak boleh
melibatkan diri dalam pelbagai kegiatan promosi segala macam komoditi, termasuk
promosi alat dan sarana kesehatan”.
Lalu mengapa kemudian ada dokter
gigi yang nekad berpromosi? Mungkinkan PDGI dengan sengaja menutup mata dalam
menyikapi fenomena ini ? Atau karena memang hal tersebut memang sudah
diperbolehkan ? Tapi mengapa isi kode
etik kedokteran dan kedokteran gigi di Indonesia tidak berubah ? Ataukah kita
saat ini memang diperbolehkan menterjemahkan segala aturan/ etika tersebut
secara bebas sesuai dengan persepsi dan kepentingan masing-masing ?
Tetapi apakah melakukan promosi
layanan kesehatan gigi di era keterbukaan yang ditunjang oleh berbagai
kemudahan dalam akses informasi masih harus menjadi suatu hal yang tabu dan
melanggar etika ? Sementara di berbagai
tempat di negeri lain hal ini sudah sangat lazim dilakukan, padahal
negara-negara tersebut justru merupakan kiblat dalam perkembangan kedokteran
gigi di dunia.
Berdasarkan fakta, dan apabila
ditinjau lebih lanjut mungkin apa yang dikemukakan seorang teman di awal
tulisan ini ada benarnya. Menurut data
terkini, didapatkan fakta bahwa hingga tahun 2010 saja Malaysia meperoleh
devisa dari kunjungan turis untuk wisata kesehatan sebesar lebih dari 6 triliun
rupiah, dan ternyata sekitar 70% pendapatan tersebut berasal dari pasien
Indonesia. Ini berarti lebih dari 4,2 triliun rupiah devisa dari negeri kita
menguap di negeri jiran ini hanya untuk biaya berobat para orang berduit di
negeri ini. Sehingga berdasarkan data dari malaysiahealthcare.com ,
Malaysia ditetapkan oleh Fox News dalam daftar 5 besar di dunia sebagai
negara tujuan wisata kesehatan di tahun 2010.
Kualitas yang lebih baik menjadi
alasan utama banyak orang kaya Indonesia lebih memilih layanan kesehatan di
luar negeri, padahal apabila dinilai dari segi efisiensi tentunya akan lebih
ekonomis apabila layanan tersebut dilakukan di negeri sendiri. Fakta menarik
lainnya muncul di Bali, justru beberapa dental clinic di sana sudah
secara rutin melayani pasien wisatawan asing yang beberapa diantanya sengaja
datang ke Bali untuk sekaligus berobat gigi selain berwisata karena alasan
lebih ekonomis. Dalam kondisi kurangnya ketersedian informasi dan promosi
perihal layanan kesehatan gigi yang ada di negeri kita ini tenyata masih ada
orang asing yang sengaja datang untuk berobat.
Memang patut diakui, dari
berbagai referensi ditemukan fakta bahwa mayoritas kualitas layanan kesehatan
di negeri ini memang tidak lebih baik apabila dibandingkan di negeri jiran
seperti Malaysia dan Singapura. Tapi tentunya juga hal ini bisa dijadikan
tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk berusaha meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan dalam bidang gigi dan mulut secara lebih optimal, sehingga
bisa lebih diakui secara internasional. Upaya peningkatan layanan ini tentunya
memerlukan investasi yang tidak sedikit, dan para investor tentunya berharap
agar investasi ini tidak merugi dan memiliki prospek yang menjanjikan. Dalam
pengelolaan manajemen klinik atau jenis layanan kesehatan lainnnya, upaya
promosi merupakan sebuah bagian penting yang memang mutlak untuk dilakukan
sehingga investasi yang sudah dikeluarkan bisa berputar dan berkembang dengan
optimal.
Dalam sebuah seminar yang
diselenggarakan PDGI Kota Bandung, saya sempat bertanya mengenai perbedaan
penerapan kebijakan yang dilakukan oleh Pengurus PDGI Kota Bandung dalam hal
pengawasan dan penindakan para anggotanya yang terbukti melakukan pelanggaran
etika karena melakukan upaya promosi dalam praktik kedokteran gigi, dengan PDGI
di kota lain yang notabene seakan membebaskan anggotanya melakukan promosi
Seorang pengurus yang menjadi narasumber menuturkan bahwa selama aturan dalam
Kodekgi tidak berubah, maka hal tersebut jelas merupakan sebuah pelanggaran dan
perlu diikuti oleh peringatan serta sangsi dari pengurus PDGI Kota Bandung.
Sementara mengenai perbedaan kebijakan di tempat lain, seharusnya PB-PDGI dapat
lebih kritis dan meresponnya sesuai dengan aturan yang berlaku.
Apabila ditelaah lebih lanjut,
saya sependapat bahwa selama Kodekgi tetap mencantumkan aturan bagi dokter gigi
di Indonesia untuk tidak melakukan upaya promosi; maka segala bentuk upaya
promosi yang dilakukan oleh para dokter gigi merupakan sebuah pelanggaran
etika. Tetapi apakah kondisi saat ini masih mendukung terhadap konteks aturan
tersebut ? Saya berpendapat bahwa sudah
selayaknya para tokoh dan pengurus PDGI di Indonesia duduk bersama untuk
menelaah hal ini secara lebih seksama. Fakta yang sempat saya kemukakan
sebelumnya perlu menjadi bahan pertimbangan, tetapi di sisi lain kita juga
perlu menyadari bahwa profesi dokter gigi sama dengan profesi kedokteran
lainnya tetaplah merupakan sebuah profesi yang seharusnya berlandaskan pada
pengabdian tulus untuk berbakti pada kepentingan kemanusiaan. Sementara upaya
promosi terkadang berbenturan atau bertentangan dengan tugas mulia seorang
dokter/ dokter gigi.
Kedua fakta kontradiktif
tersebut bukanlah tidak mungkin untuk bisa diselaraskan, perlu sebuah
pembaharuan dalam kode etik kedokteran gigi di Indonesia untuk bisa meng-update
sekaligus mengantisipasi segala perubahan yang terjadi di tengah masyarakat
sesuai dengan perkembangan trend dunia. Sebuah aturan bentuk Kode Etik yang
mengatur upaya promosi justru akan memberikan kesempatan kepada masyarakat
mendapatkan informasi
Arus globalisasi dan informasi
telah menciptakan dunia tanpa batas, sehingga setiap individu bisa dengan mudah
mengakses informasi. Hal ini akan lebih baik apabila bisa diimbangi dengan
tersedianya informasi dari pemberi pelayanan kedokteran gigi di Indonesia,
sehingga masyarakat bisa memilih layanan
yang sesuai dengan kebutuhannya.
1 komentar:
Dokter artikel dokter menarik. Sampai saat ini masih tidak mengerti maksudnya dokter gigi tidak boleh beriklan untuk membangun reputasi atau personal branding. Di dalam kondisi sekarang ini nampaknya memang saya setuju dengan ulasan anda. MKEKI harus duduk bersama membahas hal ini. Ya memang pada kenyataan dokter gigi perlu membangung personal branding, karena dokter gigi pasti ingin berkembang dan mengembangkan diri. Asalkan tidak merugikan pasien dan sesama sejawat harusnya dengan globalisasi seperti ini ya sah sah saja jika dokter gigi beriklan. Lagian hal ini benar kata dokter, iklan dapan memberikan informasi kepada pasien, namun memang info dari dokter gigi harus sesuai fakta dan data.
Terimakasih sudah menulis artikel yang bagus ini dok, salam sejawat.
Posting Komentar