Oleh : Ajeng Setia Nesda
Dokter Gigi di Puskesmas Gunung Guruh Sukabumi
Dentamedia No. 1 Vol.16 : Januari-Maret 2012
Di wilayah kerja Puskesmas
tempat saya bertugas, saat ini sedang tren anak mudanya ramai-ramai pasang
behel di tukang gigi. Berikut adalah hasil penelusuran terhadap fenomena ini. Plang dengan tulisan “Tukang Gigi Terima Pasang Behel”, begitu marak
muncul hampir di sepanjang jalan-jalan protokol Kota Sukabumi. Terkadang plang
tukang gigi tersebut posisinya cuma beberapa meter dari tempat praktek dokter
gigi, rumah sakit, ataupun Puskesmas.
Saat ini memang sedang tren para
muda-mudi alias ABG (Anak Baru Gaul) memasang kawat gigi atau istilahnya behel.
Baik para ABG wanita ataupun laki-laki, beramai-ramai memasang kawat gigi bukan
karena ada masalah dengan giginya, tetapi karena ingin disebut gaul oleh
kawan-kawannya.
Hasil bincang-bincang dengan
para ABG yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas saya, menunjukan fakta bahwa
100% para ABG itu memasang kawat gigi mereka bukan di dokter gigi, tetapi di
tukang gigi. Para ABG beralasan “di tukang gigi kalau pasang behel tarifnya
murah, terus ga ribet, datang bisa langsung dipasang hari itu juga, kalo
ke dokter gigi katanya mahal, terus ribet, harus isi biodata, dicetak, di ronsen
segala, pokoknya ribet”.
Tukang gigi memang memasang
tarif yang jauh lebih murah dibandingkan biaya pelayanan di dokter gigi. Tetapi
walau dengan harga murah, beberapa tukang gigi membuat tempat usaha mereka
persis seperti di tempat praktek dokter gigi. Sehingga menjadi daya tarik bagi
pasiennya, dan masyarakat makin berasumsi tukang gigi sama dengan dokter gigi.
Apakah masyarakat tahu akibat
dan efek buruk yang terjadi dengan mempercayakan gigi dan mulutnya ke tukang
gigi? Pada awal ketika datang ke tukang gigi ternyata mereka tidak tahu hal
tersebut, mereka berpikir tukang gigi dan dokter gigi tidak jauh berbeda,
sama-sama mengurus pergigian, hanya yang satu hasil sekolah yang lain hasil
pengalaman. Bagi masyarakat yang penting mereka puas dengan apa yang mereka
inginkan, tidak perlu ke dokter gigi yang mahal, bila ternyata tukang gigipun
bisa memenuhi keinginan mereka.
Masyarakat baru menyadari efek
buruk akibat mereka datang ke tukang gigi, setelah timbul “efek samping”
seiring berjalannya waktu. Mereka mulai merasakan akibat-akibatnya dengan
keluhan seperti bau mulut, sariawan,
gusi sakit dan bengkak, gigi tambah maju dan makin berantakan; dalam
kondisi seperti itu baru ke dokter gigi dengan terpaksa.
Hal ini mengindikasikan bahwa
pengetahuan masyarakat tentang kesehatan gigi dan mulut masih kurang, dalam hal
akibat buruk pemasangan kawat gigi di orang yang bukan ahlinya. Maka kita
sebagai praktisi kesehatan terutama kesehatan gigi harus saling bahu membahu
memberikan informasi dan pengertian kepada masyarakat tentang kesehatan gigi
dan mulut, apa fungsi kawat gigi serta akibat baik dan buruknya jika memasang
kawat gigi.
Namun munculnya kesadaran
masyarakat tentang kemana seharusnya memasang “behel” akan menimbulkan masalah
baru karena tidak ada dokter gigi spesialis ortodontis --mungkin tidak akan
pernah ada selamanya-- yang praktek di wilayah kerja Puskesmas tempat saya
bertugas. Bagaimana kalau dokter gigi Puskesmas diberi kompetensi tambahan
melalui pelatihan sehingga bisa dan berhak melakukan perawatan ortodonti dengan
alat cekat, untuk kasus tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar