Oleh : Gelar S. Ramdhani
Mahasiswa PSKG Universitas Jenderal Soedirman
Dentamedia No. 3 Vol. 16 : Juli - September 2012
Setiap
tahunnya sekitar bulan Maret sampai Agustus adalah masa dimana calon lulusan
Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat menentukan arah tujuan hidupnya,
kemanakah saya setelah lulus SMA? Kerjakah? Kalau kerja saya kerja dimana?
Nikahkah? Kalau nikah saya nikah dengan siapa? Atau Kuliahkah? Tapi kalau
kuliah kuliah dimana? Itulah yang saya dan teman-teman
saya dulu rasakan ketika hendak melepas seragam kebanggaan para ABG yakni
seragam putih abu-abu.
Ternyata
hal yang perlu diwaspadai dalam memilih jurusan kuliah adalah paradigma sempit
atau paradigma kuno yang mengatakan “pilih kuliah yang masa depannya cemerlang
terutama dari segi finansial atau pendapatan” memang pendapat ini tidak ada
salahnya karena kita belajar atau kita kuliah toh ujung-ujungnya untuk
mencari penghasilan. Tapi perlu kita ketahui bahwa orang sukses bukan karena
profesinya akan tetapi karena dirinya sendiri.
Satu
lagi paradigma kuno, adalah anggapan bahwa ketika seseorang masuk Fakultas
Kedokteran Gigi dijamin masa depannya dari segi finansial akan cemerlang. Entah
mengapa saat ini Fakultas Kedokteran Gigi seperti menjadi fakultas impian
banyak calon mahasiswa beserta orang tuanya, mungkin saja karena paradigma kuno
tersebutlah yang menjadi alasannya. Iqbal Mochtar (2009) dalam bukunya yang
berjudul “Dokter Juga Manusia” mengemukakan bahwa sebuah survei menunjukan
lebih dari sepertiga anak-anak dan remaja bercita-cita menjadi dokter.
Inilah
yang menyebabkan banyak orang tua rela menggadaikan atau menjual apapun, bahkan
sampai meghalalkan segala cara demi memasukan anaknya ke sekolah kedokteran.
Mengherankan sekali, uang ratusan juta direlakan begitu saja, dengan harapan
anaknya jadi dokter dan setelah jadi dokter anaknya bisa jadi kaya, dalam arti
uang ratusan juta yang dulu dikeluarkan saat masuk sekolah kedokteran dapat
kembali lagi. Omong kosong!
Bayangkan
saja setelah orang tua mengeluarkan uang ratusan juta memasukan anaknya
sekolah, mereka harus menunggu 5-6 tahun lagi untuk melihat anaknya menjadi
dokter, terus apakah ketika lulus jadi dokter akan langsung kaya? Sekali lagi omong
kosong, kalau ada yang mengatakan lulus langsung kaya.
Seorang
dokter gigi baru lulus, jangankan untuk mendapatkan kembali uang ratusan juta,
untuk modal praktek membeli alat saja, sudah perlu lagi uang yang tak sedikit,
misalnya saja untuk membuka praktek dokter gigi standarnya harus memiliki kursi
gigi, itu harganya sekitar 10 juta keatas.
Dan
untuk mendapat ratusan juta itu tentu perlu mendapatkan pasien yang banyak,
kemudian untuk dapat pasien yang banyak sungguh tidak mudah dan tak akan bisa
dalam waktu yang cepat, perlu adanya kepercayaan masyarakat, meraih kepercayaan
ini susahnya minta ampun karena pasien sekarang lebih kritis. Jadi kapan uang
yang ratusan juta itu kembali?
Sebaiknya
profesi dokter gigi tidak hanya dilihat dari satu perspektif saja, mungkin yang
sering dilihat adalah sisi kehidupan para dokter senior yang sudah berkerja dan
mengabdi puluhan tahun, tentunya sudah punya nama, dan memang hal yang sangat
wajar apabila kemudian dari segi finansial dikategorikan mapan.
Disisi
lain yang perlu dilihat adalah tidak sedikit dokter yang keadaan finansialnya
mempri-hatinkan, ini akan menjadi beban mental dan menciptakan pemikiran
sempit, “Orang tua saya telah menyekolahkan saya dengan biaya beratus-ratus
juta, jumlah pasien di klinik pribadi saya banyak tapi mengapa pendapatan saya
kecil? Apakah saya harus menaikan tarif?” Maka disaat rakyat kecil menjerit
kesakitan karena tak mampu untuk berobat, para dokter yang notabene adalah
pelayan masyarakat, malah dengan gampangnya menaikan tarif pengobatan pasien.
Semua
ini terjadi akibat paradigma awalnya yang salah, ketika hendak masuk sekolah
kedokteran beranggapan yang menjadi dokter pasti kaya dan uang biaya kuliah
ratusan juta akan kembali lagi setelah
buka praktik kelak, sehingga dalam pola pikirnya sudah tertanam bagaimana
caranya uang itu kembali, kembali, kembali, dan kembali sehingga menjadi kaya,
kaya, kaya, dan kaya.
Sejatinya
profesi dokter, baik itu dokter umum maupun dokter gigi bahkan dokter spesialis
sekalipun adalah berfungsi sebagai pengabdi serta pelayan masyarakat, toh
kalau ada dokter dapat imbalan, kemudian menjadi kaya secara finansial,
hendaknya itu disikapi sebagai timbal balik dari kerja dokter yang telah
membantu pasien mencapai kesembuhan, seperti yang tertuang dalam sumpah dokter
yang berbunyi “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan”, dan perlu anda ketahui di sumpah dokter tidak ada bunyi “Saya
akan bekerja untuk mendapatkan keuntungan”.
Berbeda
dengan pembisnis, kalau pembisnis sudah jelas orientasi mereka adalah mendapat
keuntungan. Dan memang benar kalau pembisnis sukses adalah pembisnis yang
mendapat keuntungan besar, tetapi guru yang sukses adalah guru yang bisa
mengajari muridnya dengan baik sehingga muridnya pintar bukan guru yang kaya
raya, nah begitupun dokter yang sukses adalah dokter yang dapat membantu
pasiennya mencapai kesembuhan bukan dokter yang kaya raya.
Jadi
kalau berorientasi ingin kaya raya jangan masuk ke sekolah kedokteran, masuk
saja ke jurusan bisnis atau langsung saja investasikan uang ratusan juta anda
untuk berbisnis. Tanpa harus menunggu lama 5-6 tahun, tanpa menunggu jadi
dokter, uang ratusan juta tersebut akan berkembang..
Bagi
yang sudah masuk di sekolah kedokteran gigi atau yang sudah jadi dokter gigi,
ingatlah kita semua harus kaya, kita semua punya tanggung jawab untuk menafkahi sekarang dan nanti. Tapi orientasi
hidup tetap untuk pengabdian, jangan takut miskin dengan niat mengabdi, justru
dengan kerja yang tulus biasanya
pekerjaan akan semakin baik, dan semakin baik
bekerja akan semakin banyak pasien yang dapat dibantu, maka masalah
finansial akan datang dengan sendirinya,
tidak usah dikejar, bahkan dengan kerja
tulus dan kerja baik uang akan mengejar
kita.
Jadi
omong kosong kalau menjadi dokter itu dijamin mapan! Karena mapan atau tidaknya
seseorang bukan ditentukan dari profesinya, melainkan dari seseorangnya itu
sendiri. Lebih baik kita konsentrasi pada berprofesi dengan baik sehingga
hasilnya termasuk aspek finansial akan maksimal. Pepatah mengatakan “Lebih
baik menjadi sebutir intan diantara kumpulan pasir, daripada menjadi
batu sungai diantara tumpukan emas”
*tulisan ini pernah dimuat di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar