Oleh : Maya Rahim Elqomary
Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan
Dentamedia No. 2 Vol 20 : April - Juni 2016
Dua bulan terakhir ini saya
mengikuti dua seminar di dua kota yang berbeda. Dua seminar tersebut yang satu
berskala lokal, sementara yang satunya lagi berskala internasional dengan
banyak pembicara asing dari berbagai negara. Ada hal menarik dari kedua seminar
tersebut yaitu sepinya seminar, terlihat dari banyaknya kursi yang kosong.
Oke lah bila kebanyakan peserta merasa tidak
berkepentingan untuk ada di tempat saat acara seremonial, seperti acara sambutan
para pejabat atau saat sesi para keynote speakers. Namun saat acara
inti, yaitu saat penyampaian materi seminar, terutama setelah makan siang,
mulai tampak jelaslah kursi-kursi itu memang kosong.
Saya pun bertanya-tanya pada beberapa sejawat dokter
gigi yang berasal dari daerah lain, apakah fenomena ini juga terjadi di seminar-seminar lain. Beberapa teman
menengarai kejadian serupa di banyak tempat, namun tidak semua pertemuan ilmiah
kedokteran gigi sepi. Namun ada sedikit keanehan terjadi. Di luar sana,
tepatnya di stan-stan pameran, tetap terlihat ramai pengunjung.
Seminar untuk dokter gigi mulai diatur sejak tahun
2004, yang menurut undang-undang praktik kedokteran setiap dokter gigi yang
berpraktik wajib mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Profesionalisme Kedokteran
Gigi Berkelanjutan (P3KGB), alias wajib mengumpulkan Satuan Kredit Profesi
(SKP) dengan mengikuti kegiatan-kegiatan di bidang kedokteran gigi atau
mudahnya diterjemahkan dengan mengikuti seminar kedokteran gigi untuk
mendapatkan sertifikat kompetensi yang wajib diperbaharui setiap 5 tahun.
Untuk para sejawat yang berdomisili di kota-kota
besar di Indonesia, mungkin relatif mudah untuk mencari dan mengikuti seminar
yang notabene hampir selalu diadakan di kota besar. Lain halnya dengan dokter
gigi yang berada di pinggiran, terlebih lagi untuk yang di luar pulau
Jawa, untuk mengikuti seminar harus
merogoh kocek dalam-dalam. Selain untuk membayar biaya seminar, juga untuk
biaya transportasi dan penginapan.
Untuk menyiasati kendala tersebut, beberapa sejawat
titip nama pada sejawat lainnya. Jadi biaya yang harus dikeluarkan hanyalah
biaya pendaftaran seminar plus ongkos kirim sertifikat, tanpa harus menguras
kantong untuk biaya lainnya. Jadi ini mungkin salah satu sebab kosongnya kursi
seminar, karena pesertanya hanya terdaftar, tetapi tidak hadir saat acara.
Terlepas dari alasan para sejawat dari daerah “jauh”
tersebut, kosongnya kursi seminar, terutama saat setelah makan siang, mungkin
karena teman dokter gigi tidak merasa perlu dengan materi yang disampaikan.
Materi seminar dianggap terlalu teoritis, mengawang-awang, tidak bersentuhan
langsung dengan kasus pasien, sehingga tidak dapat diterapkan dalam praktik
kedokteran gigi sehari-hari. Toh, perawatan pasien yang dihadapi setiap harinya
hanya berkisar dari penambalan gigi berlubang, yang bila tidak bisa ditambal
lagi, dicabut saja deh. Jadi ada hal yang lebih penting yaitu berbelanja
kebutuhan praktik di stan pameran yang pastinya tersedia diskon menarik khusus
selama pameran. Jadi, itulah kenapa stan pameran produk di luar ruangan seminar
lebih menarik untuk disambangi.
Kemungkinan penyebab lainnya adalah keengganan para
sejawat untuk pindah dari zona kenyamanan ilmu, atau dapat dikatakan enggan
untuk meng-update ilmunya dengan ilmu pengetahuan terbaru, karena
otomatis harus merubah cara kerja merawat
pasien yang selama ini sudah dijalani sekian lama, sehingga kerjanya
sudah di luar kepala atau seperti mesin otomatis.
Saya ingat dulu sekali, seorang profesor saya di
kampus pernah bertanya saat ujian lisan profesi, “apa yang kamu lakukan saat
datang seorang pasien dengan gigi berlubang?” Bila jawabannya “ditambal saja
giginya.” Itulah mental ‘tukang’, menurut beliau. Tanpa pemeriksaan menyeluruh,
pertimbangan kemampuan pasien untuk menjalani paska perawatan, tanpa analisa
menyeluruh terhadap pasien sebagai insan manusia yang utuh, tindakan yang
terbaik bagi pasien tidak dapat diputuskan, ujarnya.
Kemungkinan lain sepinya seminar dokter gigi adalah
karena terlalu banyaknya acara seminar, bila melihat agenda kegiatan di
Dentamedia, kadang dalam satu hari ada 3 sampai 4 acara di berbagai tempat.
Tentunya ini akan mengurangi jumlah peserta di setiap acara.
Berdasarkan aturan P3KGB, dalam jangka waktu 5 tahun
seorang dokter gigi diwajibkan mengumpulkan 30 SKP. Jadi dalam setahun
diperlukan sekitar 6 SKP. Bila dari 1 seminar bisa didapatkan 3-5 SKP, jadi
dalam setahun seorang dokter gigi memerlukan sekitar 2 seminar untuk diikuti.
Kalaupun biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti 1 seminar, termasuk
transportasi dan akomodasi, sekitar 2 juta rupiah, jadi setahun diperlukan 4
juta rupiah. Biaya yang tidak bisa dikatakan sedikit, jadi sangatlah sayang
bila biaya sebanyak ini dikeluarkan namun seminar tersebut tidak diikuti secara
optimal dengan hadir pada setiap sesi dengan seksama.
Untuk mengumpulkan 30 SKP dalam jangka waktu 5 tahun,
memang perlu perencanaan yang cukup matang, terutama untuk rencana biaya yang
sesuai atau sepadan dikeluarkan dengan nilai yang akan didapat. Tidak melulu
berhitung jumlah SKP-nya, namun juga ilmu, pengetahuan, ataupun keahlian yang
akan didapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar