Oleh : Nadia Faradiba
Mahasiswa Profesi FKG Unpad
Dentamedia No. 2 Vol. 18 : April - Juni 2014
Pernah
dengar istilah DVI? Istilah ini mulai populer
saat terjadi kecelakaan pesawat Sukhoi di Gunung Salak, Bogor. Tim DVI
Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu pihak yang turut dalam operasi SAR
pada kecelakaan tersebut, apa sebenarnya DVI? Disaster
Victim Identification (DVI) sejatinya adalah sebuah prosedur yang sesuai dengan
namanya digunakan untuk mengidentifikasi korban bencana yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum dan ilmiah dan prosedurnya ini sesuai dengan
acuan dari Interpol dan DVI Guidelines.
Bencana
yang dapat ditangani sangat banyak bentuknya. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, terdapat 2 macam bencana, yaitu alam dan nonalam. Bencana alam adalah
segala macam bentuk bencana yang terjadi di alam, seperti tsunami, tanah
longsor, dan lain-lain. Sedangkan bencana non alam adalah bencana yang
disebabkan karena ulah manusia seperti kecelakaan pesawat, kebakaran, ledakan
bom, dan lain-lain.
Di
Indonesia setiap hari terjadi banyak sekali bencana, bencana alam maupun non
alam. Tanpa campur tangan manusia untuk menyebabkan bencana non alam pun,
secara geografis Indonesia adalah daerah rawan bencana karena terletak di
antara tiga lempeng bumi, yaitu lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik. Hal
ini membuat Indonesia sering sekali mengalami gempa bumi dan letusan gunung
berapi.
Ditambah
bencana hasil campur tangan manusia, sebut saja banjir, terorisme, ledakan bom,
membuat Indonesia sekarang disebut “Hypermarket Bencana”.
Belakangan
ini, dokter gigi telah dilibatkan ke dalam tim DVI. Untuk apa dokter gigi
dilibatkan? Hal ini mengacu kepada American Board of Forensic
Odontology bahwa identitas primer orang mati ada 3, yaitu sidik jari, DNA,
dan gigi. Dikatakan identitas primer karena kemungkinan bahwa identitas
tersebut sama atau tertukar dengan orang lain hanya sekitar 1 : 2 miliyar.
Hanya dibutuhkan satu identitas primer untuk membuktikan bahwa korban mati
positif cocok dengan suspek orang yang dikira meninggal.
Mari
kita kembali ke kejadian di Gunung Salak, yaitu kecelakaan pesawat Sukhoi.
Dalam keadaan tersebut, yang ditemukan hanya potongan tubuh yang bukan dalam
hitungan jari, dan keadaan jaringan sudah hangus terbakar. Maka kemungkinan
untuk mengidenti-fikasi korban melalui sidik jari kecil sekali karena sidik
jari sudah hangus dan berubah bentuk. Yang kedua, untuk menggunakan DNA sebagai
identitas harganya sangatlah mahal dan waktu yang dibutuhkan cukup lama untuk
mengetahui hasilnya, dan DNA sebagai ikatan asam amino akan mengalami
denaturasi pada suhu tinggi.
Identitas primer
yang ketiga adalah gigi. Di sinilah dokter gigi berperan. Gigi sebagai jaringan
terkeras pada tubuh manusia dapat bertahan pada suhu tinggi hingga kurang lebih
400 derajat Celcius. Pada korban Sukhoi contohnya, menurut keterangan salah
seorang dokter gigi yang tergabung dalam Tim DVI, gigi geligi ditemukan dalam
bentuk yang utuh dan tidak berubah dari sebelum kejadian.
Cara menyocokkan
gigi korban dapat dilakukan dengan membandingkan data post mortem (pasca
kematian) dan ante mortem (saat masih hidup). Data utama yang dapat dilakukan
adalah data radiologis dan rekam medis gigi pasien. Jika tim mendapatkan foto
radiografi gigi pasien, maka bisa dilakukan perbandingan dengan foto radiografi
post mortem. Keadaaan unik jika pasien pernah dirawat giginya pun dapat
digunakan untuk menyocokkan identitas pasien.
Dokter gigi dapat
berperan langsung sebagai tim DVI maupun sebagai dokter gigi biasa saja.
Sebagai dokter gigi biasa, menurut Undang-Undang Kesehatan, sudah menjadi
kewajiban dokter untuk membuat rekam medis.
Pengelolaan rekam medis yang baik akan sangat membantu jika diperlukan
identifikasi korban bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar