Oleh : Ronny Baehaqi
Dokter Gigi RS dr. Soetomo Surabaya
Dentamedia No. 1 Vol. 19 : Januari - Maret 2015
Akhir tahun 2013 sudah
dihembuskan isu tentang pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
digawangi oleh BPJS-Kesehatan alias PT Askes (Persero) yang berganti baju. Dari
sisi ini saja sudah dapat diprediksi apa yang akan terjadi, terutama untuk
bidang kesehatan gigi dan mulut. Sudah bukan rahasia, kalau perlakuan
Askes terhadap bidang kedokteran gigi
sangat minor, dari sejak lama Askes menghitung utilitas pelayanan keseha-tan
gigi hanya 0,2%, dan pola ini tidak berubah sampai tahun 2013.
Masalahnya pola kapitasi yang akan diterapkan pada
pelayanan primer (dulu disebut PPK I) dihitung berdasarkan utilitas yang hanya
0,2% itu, sehingga lahirnya besaran kapitasi Rp. 2.000 untuk dokter gigi di pelayanan
primer. Harian Republika pernah menulis, tukang parkir saja dari satu kendaraan
mengutip Rp. 2000 tanpa resiko serius, kenapa a seorang dokter gigi yang harus
keluar tenaga, alat, bahan habis pakai, serta resito hanya menerima bayaran
dengan jumlah rupiah yang setara.
Di atas kertas, asumsi yang diungkapkan oleh
BPJS-Kesehatan sangatlah manis, tapi kenyataan dilapangan berkata lain.
Persoalan pertama adalah pencairan klaim di rumah sakit, tagihan pelayanan
Bulan Januari ada yang sampai baru pada Bulan April cairannya. Akibatnya sarana
pelayanan kesehatan harus mempunyai cukup cadangan alat, obat dan bahan habis
pakai serta dana untuk menggaji pegawai. Kemudian besaran tariff BPJS-Kesehatan
tidak masuk akal karena sangat tidak sesuai dengan real unit cost, belum
lagi terjadi perbedaan yang signifikan berdasarkan tipe dari rumah sakitnya.
Kenyamanan dokter dalam mengerjakan pasien BPJS-pun
tidak dipehatikan, bayangkan, seorang dokter yang telah menolong pasien dan
merawatnya dengan baik, kini dihantui
oleh tuduhan over service dari verifikator dan dapat berujung pada teguran,
pemotongan gaji, bahkan katanya bisa dipidanakan.
Jadilah ini seperti buah simalakama, dikerjakan
sesuai standar medis terancam mendapatkan teguran, jika tidak dikerjakan dikecam
oleh pasien dan menyalahi sumpah hipokrates yang telah kita ucapkan.
Perlu perbaikan tarif layanan pada sistem JKN untuk
bidang kedokteran gigi, tanpa perubahan tarif, pelayanan akan dibawah standar.
Kemudian perlu perubahan undang-undang agar organisasi profesi seperti PDGI dan
IDI memiliki peran dalam penentuan tarif Ina CBGs.
Perbaikan fundamental lain yang perlu dilakukan
pemerintah adalah memperbanyak fasilitas kesehatan dan tenaga dokter, sehingga
tidak akan terdengar lagi pasien harus antri sejak sebelum matahari terbit.
Hambatan administrasi yang dihadapi dokter muda
seperti uji kompetensi dan internship harus dihilangkan, demikian pula dengan
sertifikasi yang bahkan saat ini dokter harus memiliki Sertifikat Profesi dan
Sertifikat Kompetensi, dua hal yang sebenarnya bisa diwakili oleh Ijazah
Dokter.
Setahun sudah berlalu sejak program ini digulirkan,
sudah banyak aturan yang direvisi namun hasilnya tidak sesuai harapan. Selain
tarif yang tidak sesuai, keterbatasan sarana pelayanan kesehatan, keterbatasan
renaga dokter, ada lagi masalah besar yaitu masih dominannya aspek kuratif dari
pada promotif. Angka kesakitan masih diatas 40% sehingga anggaran pastinya akan
tersedot kearah itu. Hanya dengan mengencarkan tindakan promotif, angka
kesakitan 40% dapat diubah menjadi 20% sesuai program JKN; itu menjadi
pekerjaan rumah pemerintah.
Semoga dikemudian hari, program JKN ini bisa
menyehatkan masyarakat Indonesia serta
juga bisa mensejahterakan seluruh tenaga kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar