Oleh : Putri R. Sukamto
Dokter Gigi di Sukabumi
Dentamedia No. 3 Vol. 17 : Juli-September 2013
"...pendidikan memang
bukan segalanya, tetapi segalanya berasal dari pendidikan...". Jika diibaratkan bangsa kita adalah sebuah bangunan, maka pendidikan
adalah salah satu pilar yang turut mengokohkan bangunan Indonesia. Bagaimana
tidak, untuk mengawali suatu perubahan, suatu prestasi, suatu kemajuan kita
membutuhkan proses pendidikan.
Apa itu pendidikan, mari kita lihat Undang-Undang Nomor 23 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di Pasal 1 disebutkan “Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Kemudian yang menjadi pertanyaan,
sudahkan Fakultas Kedokteran Gigi melakukan proses pendidikan sesuai dengan
definisi diatas?
Memang tugas yang berat bagi penyelenggara pendidikan untuk
memenuhi definisi di atas, dan dapat dianggap sebagai prestasi luar biasa apabila komponen-komponen
diatas dapat dibentuk secara utuh oleh suatu lembaga pendidikan karena untuk
ukuran Indonesia bukan perkara mudah untukmenjadikan pendidikan bukan lagi terbatas pada materi mata kuliah
tapi juga mengintegrasikan komponen-komponen potensi diri, kepribadian, akhlak
mulia dan keterampilan.
Oleh karena itu Fakultas Kedokteran Gigi sebagai sebuah lembaga
pendidikan mutlak harus memiliki kurikulum yang terencana serta pola pendidikan
yang efektif, karena itulah pilar
penyangga yang dibutuhkan dalam memenuhi defini pendidikan yang telah
digariskan pemerintah. Pola pendidikan harus bisa menggeser paradigma belajar dari suatu kewajiban menjadi suatu kebutuhan,
layaknya tubuh kita butuh makan, layaknya jiwa kita butuh asupan rohani, maka
otak kita pun butuh ‘makan’ yaitu belajar. Institusi pendidikan dituntut untuk
menjadikan aktivitas belajar sesuatu yang menyenangkan tanpa menyebabkan
stress, menjadi wadah untuk mengembangkan potensi diri, kreativitas, serta
minat dan bakat tiap mahasiswa.
Belajar adalah proses dimana kita berpindah dari titik tidak tahu
menjadi tahu, dari titik bodoh menjadi pintar, dari titik tidak bisa menjadi
bisa dan seterusnya sehingga terjadi transformasi ketitik perbaikan secara
simultan.
Keberhasilan Fakultas Kedokteran Gigi dalam menciptakan
transformasi tersebut selain ditentukan oleh kurikulum dan pola pendidikan juga
ditentukan oleh kualitas dosen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
disebutkan bahwa dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas
utama mentransformasikan, mengem-bangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian pada
masyarakat.
Mengajar atau memberikan pelajaran bukanlah semata-mata pemindahan
ilmu pengetahuan dan teknologi dari dosen kepada mahasiswa. Oleh karena itu
dosen harus menyadari bahwa titik sentral mengajar bukanlah materi yang harus
disampaikan, melainkan mahasiswa itu sendiri. Dosen adalah seorang pendamping
yang selalu mempertanyakan apa telah didapatkan mahasiswa setelah ia belajar.
Kegiatan menguji merupakan suatu bentuk cara melihat apa yang telah mahasiswa
dapatkan. Tentu dosen perlu juga mengevaluasi diri apabila hasil evaluasi tidak
sesuai dengan yang diharapkan.
Kurikulum, pola pengajaran, serta kualitas dosen akan terkait
dengan output lulusan suatu Fakultas Kedokteran Gigi. Mahasiswa yang masuk akan
di didik, dibina, dan di cetak untuk menjadi dokter gigi. Tidak cukup sampai
lulus dokter gigi saja, tetapi perlu tambahan kata "bermutu" di
belakang gelar dokter gigi.
Saat ini salah satu parameter berhasil tidaknya pendidikan di
suatu Fakultas Kedokteran Gigi yang paling mudah dibaca adalah tingkat
kelulusan dalam Uji Kompetensi Dokter Gigi Indonesia (UKDGI).
Masalahnya saat ini ternyata ada Fakultas Kedokteran Gigi yang
tidak mampu menghantarkan sebagian mahasiswanya untuk bisa lulus Uji Kompetensi
Dokter Gigi Indonesia (UKDGI), bahkan setelah berkali-kali mengulang. Padahal
uji ini hanyalah penyaring untuk menjamin setiap dokter gigi telah memiliki
kompetensi minumum sehingga masyarakat akan terlindungi.
Standar memberikan pengertian sebagai pernyataan eksplisit tentang
kualitas minimal yang diharapkan, sedangkan kompetensi adalah seperangkat
kemampuan untuk dapat bertindak cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki
seseorang untuk dapat dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas
dibidang tertentu. Oleh karena bila tidak lulus uji kompetensi berarti bukan
hanya sekedar tidak bermutu tetapi juga memiliki kemampuan di bawah minimal.
Lalu siapa yang salah bila seseorang tidak lulus uji kompetensi?
Berkaca dari uraian di awal artikel, adalah tidak pada tempatnya apabila
kesalahan ditimpakan pada mahasiswa yang tidak lulus karena mereka adalah output
dari proses yang berjalan di suatu Fakultas Kedokteran Gigi sebagai suatu
institusi pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar