Oleh : Gelar S. Ramdhani
Mahasiswa Profesi FKG Universitas Baiturrahmah
Dentamedia No.3 Vol. 21 : Juli - September 2017
Menarik
sekali memperhatikan opini masyarakat akhir-akhir ini seputar dunia kesehatan.
Bermula dari dugaan masyarakat tentang adanya rumah sakit yang menelantarkan
pasien miskin, beberapa bulan lalu, kemudian dibantah rumah sakit yang
menyatakan pelayanan yang diberikan sudah sesuai prosedur dan peraturan yang
berlaku, kemudian berita tersebut menjadi semakin hangat, hingga pada akhirnya
berevolusi menjadi “raksasa” opini publik yang semakin hari semakin hangat
diperbincangkan.
Bahasa
media (jurnalis) yang sering mencap isu tersebut sebagai “penelantaran pasien”
atau lebih ekstrimnya disebut “malpraktik”, membuat masyarakat terutama yang
secara subyektif merasa dirinya atau keluarganya pernah dirugikan oleh tindakan
atau pelayanan medis, dengan adanya pemberitaan yang cukup masif, merasa
mendapatkan dukungan moral untuk ikut menghujat pelayanan medis.
Pembicaraan
benang kusut praktik kedokteran saat ini menjadi topik utama yang cukup hangat
diperbincangkan, dari mulai obrolan ala warung kopi, hingga obrolan anak-anak
muda di jejaring sosial. Prahara pelayanan medis, erat kaitannya antara
hubungan pasien dan dokter atau dokter gigi. Ketika dulu dokter atau dokter
gigi dimata pasien dianggap sebagai “dewa” dan pada umumnya masyarakat merasa
segan terhadap dokter atau dokter gigi, maka apapun yang dikatakan dokter atau
dokter gigi dianggap sebagai firman Tuhan. Akan tetapi saat ini pada era
keterbukaan, dokter atau dokter gigi dituntut untuk lebih profesional dan
bijaksana memberikan pelayanan kepada sang pasien, sedikit saja kesalahan
dimata pasien, meskipun secara prosedur benar, pasien bisa berani menuntut
dokter atau dokter gigi.
Menuntut
keadilan atas tidak puasnya pelayanan yang diterima merupakan suatu hak pasien
sebagai warga negara, akan tetapi yang perlu kita ketahui bersama bahwa praktik
kedokteran atau kedokteran gigi bukan merupakan suatu ilmu pasti. Setiap
tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter atau dokter gigi dengan
segenap ilmu dan keterampilannya hanya “berupaya” menolong pasien dengan
bersandar pada standar prosedur serta standar kompetensi yang berlaku, kemudian
yang menentukan berhasil atau tidaknya tindakan tersebut adalah Tuhan yang Maha
Kuasa.
Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dokter dan dokter gigi saat berpraktik,
diantaranya UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat 1
yang menerangkan bahwa “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan
persetujuan” kemudian dalam ayat 5 tercantum “Setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan” Jadi ketika dokter atau
dokter gigi melakukan tindakan prinsipnya pasien telah menyetujui. Paling
penting yang perlu diingat pasien menurut Undang-undang praktik kedokteran
ialah persetujuan tindakan bukan sebatas setuju atau tidak dilakukan tindakan
melainkan pasien menyetujui pula hal-hal lainnya yang berkaitan dengan tindakan
yang diberikan. Seperti halnya diagnosis, tujuan tindakan, alternatif tindakan,
resiko tindakan, dan prognosis.
Fenomena
di masyarakat saat ini, ketika ada suatu pengobatan tertentu –terutama yang non
medis— berani menjanjikan kesembuhan bahkan sampai menentukan pula tenggang
waktu kesembuhan, lalu ternyata pada kenyataannya kesembuhan tidak didapat
seperti yang dijanjikan atau bahkan tambah parah, tidak pernah pernah terdengar
di media sang pasien menuntut pengobatan tersebut. Tapi saat praktik kedokteran
atau kedokteran gigi yang jelas-jelas dilakukan secara obyektif berdasarkan
teori yang teruji, dan tanpa menjanjikan apapun hanya upaya, ketika ada kesalahan
kecil saja masyarakat ramai bergunjing bahkan menuntutnya secara hukum.
Tulisan
ini bukan untuk menghakimi siapa yang salah siapa yang benar, memang ada juga
dokter atau dokter gigi yang memberikan pelayanan tidak sesuai aturan, atau
tidak memuaskan pasien. Tapi saya mohon masyarakat tidak memberikan judge
secara umum, dan masyarakat tidak perlu khawatir dengan semua ini karena
pemerintah dalam mewujudkan kedisiplinan dalam praktik kedokteran atau
kedokteran gigi, sudah mempunyai lembaga khususnya secara resmi yaitu Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), masyarakat juga tidak perlu
memandang lembaga ini akan subyektif terhadap dokter atau dokter gigi ketika
ada sengketa, karena anggota dari lembaga ini juga terdiri dari berbagai unsur,
diluar unsur kedokteran atau kedokteran gigi.
Inti
dari permasalahan ini adalah miss communication antara pasien dengan
dokter atau dokter gigi, jika terjalin komunikasi harmonis dan humanis, dalam
arti luasnya sang dokter mempunyai moral, empati, ilmu yang memadai, serta
keterampilan yang baik, kemudian sang pasien juga mempergunakan haknya sebagai
pasien dengan baik dan bijak, saya rasa permasalahan tuntutan pasien terhadap
dokter atau dokter gigi tidak akan ada.
Satu
lagi akar permasalahan yang terjadi dilapangan masih banyaknya masyarakat yang
belum paham seputar prosedur dan Undang-Undang Praktik Kedokteran, jadinya
ketika terjadi sesuatu dalam praktik kedokteran atau kedokteran gigi, pasien
merasa kebingungan. Sudah seyogyanya pemerintah dalam hal ini Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia dibantu dengan organisasi profesi seperti Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) atau Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), untuk lebih
meningkatkan lagi program pencerdasan kepada masyarakat luas seputar peraturan
dan Undang-Undang Praktik Kedokteran, terutama seputar hak dan kewajiban
seorang dokter atau dokter gigi dan hak dan kewajiban seorang pasien.
Menutup
tulisan ini ingin mengutip sebuah tulisan seorang Guru besar Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia yakni Prof. Dr. dr. Daldiyono, Sp.PD-KGEH,
dalam sebuah bukunya beliau menuliskan “Tidak dapat diramalkan apakah konflik
antara pasien dan dokter akan selalu terjadi, atau kelak akan tercipta budaya
kemitraan antara pasien pintar dan dokter bijak. Kita membutuhkan dokter yang
tulus ingin membantu, bukan dokter yang berorientasi pada uang. Kita
membutuhkan pengacara yang berhati tulus, bukan pengacara yang lihai merekayasa
perkara”.
Apa
yang diharapkan oleh guru besar tersebut agaknya sampai saat ini masih sebuah
bentuk keidealan yang belum terealisasi, entah sampai kapan.
*artikel ini pernah dimuat di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar